Cari Blog Ini

Sabtu, 07 Mei 2011

KONSELING POPULASI KHUSUS


Orang yang tunanetra sering sekali digambarkan sebagai tak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi purbasangka (prejudice) di kalangan masyarakat awas bahwa orang tunanetra itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan. Dodds (1993) mengemukakan bahwa persepsi negatif tentang ketunanetraan tersebut sering sengaja dipertahankan dan diperkuat oleh badan-badan amal demi menggugah hati banyak orang untuk berderma. Hal yang serupa sangat sering kita jumpai di dalam masyarakat kita, di mana pencari derma berkeliling dari rumah ke rumah dengan mengatasnamakan tunanetra. Citra tunanetra yang digambarkan oleh para pencari derma tersebut bahkan diperkuat oleh pemandangan yang sering dijumpai di banyak pusat keramaian di mana orang tunanetra yang tidak berkesempatan memperoleh pendidikan, rehabilitasi atau latihan yang sesuai dengan kebutuhannya terpaksa harus menggantungkan dirinya pada belas kasihan orang lain. Sangat jarang orang awas bertemu dengan model peran tunanetra yang positif dalam wujud orang tunanetra yang kompeten dan mandiri. Di samping itu, media, seni rupa, literatur dan drama lebih sering menampilkan citra ketunanetraan yang negatif, yang cenderung menonjolkan stigma daripada menawarkan aspirasi positif kepada mereka yang pada suatu saat berkemungkinan untuk kehilangan penglihatannya (Lee & Loverage, 1987), menimbulkan rasa sedih pada pemirsanya atau pembacanya, serta membuat orang awas merasa superior dan beruntung bahwa mereka tidak seperti yang digambarkan itu (Dodds, 1993). Dodds juga mengamati bahwa banyak media menggambarkan kebutaan sebagai hukuman yang patut diterima oleh penyandangnya atas kejahatan yang dilakukannya. Gambaran seperti ini mengundang pemirsanya untuk memposisikan diri pada pandangan moral tertentu terhadap sang korban; satu pandangan di mana rasa kasihan merupakan satu-satunya respon yang tepat bagi mereka yang mempunyai rasa belas kasihan, dan perasaan kebenaran dan keadilan bagi mereka yang tidak mampu menunjukkan rasa belas kasihan.
Sama merusaknya dengan gambaran negatif mengenai ketunanetraan adalah gambaran positif yang tidak realistis di mana orang tunanetra dilukiskan sebagai "super‑hero", yang dipandang sebagai orang yang memiliki daya yang mengagumkan, baik fisik maupun mental (ingat misalnya "Si Buta dari Gua Hantu").
Akhir-akhir ini sering juga muncul pemberitaan tentang orang tunanetra dengan prestasi tinggi, misalnya mereka yang dapat mengoperasikan komputer dengan baik, atau berhasil meraih gelar akademik yang prestisius, atau berhasil dalam karir profesionalnya. Masyarakat sering memandang pencapaian seperti ini sebagai "langka tetapi nyata", sesuatu yang mengagumkan. Pemberitaan seperti ini tidak berhasil mengubah stereotipe negatif tentang ketunanetraan, karena di balik kekaguman itu tersirat pikiran bahwa orang tunanetra pada umumnya tidak dapat atau tidak seharusnya demikian, sehingga bila masyarakat melihat contoh orang tunanetra melanggar ekspektasi negatif tersebut, itu hanya dipandang sebagai kasus kekecualian. Dengan kata lain, ekspektasi masyarakat terhadap orang tunanetra masih tetap rendah.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa masyarakat masih cenderung memposisikan orang-orang tunanetra sebagai kelompok yang oleh Pedersen (1981) disebut sebagai populasi khusus (special population), yaitu kelompok minoritas yang sering dihambat aksesnya ke berbagai layanan umum termasuk layanan konseling. Studi kasus ini bertujuan menemukan apakah diskriminasi semacam ini dialami juga oleh siswa-siswa tunanetra dalam layanan konseling di sekolah menengah tingkat atas reguler di mana mereka merupakan kelompok minoritas di sekolah yang mayoritas siswanya adalah orang awam.
Beranjak dari penjelasan diatas, dalam ranah pendidikan bimbingan dan  konseling terdapat suatu kajian atau mata kuliah tentang konseling terhadap populasi khusus. Sebagaimana yang dikatakan Pedersen (1981) yang disebut sebagai populasi khusus (special population), yaitu kelompok minoritas yang sering dihambat aksesnya ke berbagai layanan umum termasuk layanan konseling. Jika ditinjau dari pendapat Pedersen tersebut, maka pemunculan mata kuliah KONSELING POPULASI KHUSUS, memiliki tujuan untuk membekali calon-calon konselor yang nantinya akan berkerja dilapangan dapat lebih professional, yang memberikan layanan bimbingan konseling pada siapa saja termasuk pada kelompok minoritas (populasi khusus).
Lalu, apa pengertian konseling populasi khusus, setting (tempat) dilaksanakan konseling populasi khusus, prinsip-prinsip dan tujuan konseling populasi khusus, serta seperti apa jika dibuatkan skenario konselingnya? Semua itu dijawab dalam uraian berikut. Dan tentunya berdasarkan literature-literatur yang ada.
………………………
DAFTAR PUSTAKA
                       
Untuk mendapatkan file lengkapnya (±26 lembar/halaman + 2 versi skenario yang berbeda), PEMINAT dapat melakukan pemesanan dengan donasi (tertera dalam formulir pemesanan) sesuai kantong anak kuliahan (sekedar ucapan terima kasih). Coba aja dulu download petunjuk pemesanannya dibawah ini ya!!!!! Setelah itu, jika tertarik baru lakukan pemesanan


Berikut ini disediakan beberapa makalah/tugas mata kuliah-mata kuliah tertentu:
  

Selain itu, ada juga Skripsi lengkap dan Proposal-proposal penelitian, serta Laporan Praktek Lapangan baik didalam sekolah maupun diluar sekolah. Mampir dulu ya diblog ini!!!!!